RandomScrawls
Decidedly mundane…

Mengapa Saya Tidak Suka Tabiat “Tomat” di Bulan Puasa

Photo by Wikimedia Commons

Tomat, singkatan yang digunakan oleh keluarga saya – atau mungkin yang ini udah umum juga sih – untuk menunjuk pada tabiat “sekarang tobat, besok-besok kumat”. Dan tidak, saya tidak merujuk pada tabiat tomat yang arahnya ke dalam, introspeksi, meningkatkan kualitas takwa dan kebaikan dalam diri kita. Hanya saja, saya benci dengan mereka yang memproyeksikan tabiat “tomat” mereka kepada orang lain.

Perlu contoh? Saya benci sekali dengan model himbauan tempat hiburan tutup selama bulan Ramadhan. Buat saya, dan saya yakin akan ada lebih banyak orang yang berpendapat sama dengan saya, puasa itu sifatnya personal. Yang perlu tau kita puasa hanya kita sendiri dan Allah SWT. Apa hubungannya sama orang lain yang nggak puasa? Apa hak saya nyuruh-nyuruh orang lain yang tidak puasa – entah karena memang Islam bukan imannya atau yang iman Islamnya belum kuat – untuk nutup warungnya hanya karena saya puasa dengan dalih “menghormati orang puasa”?

Orang puasa tidak perlu dihormati. Puasa atau tidak, itu pilihan pribadi – terlepas bahwa apabila seseorang itu Muslim, maka dia wajib puasa. Ingatlah bahwa salah satu manfaat puasa bahwa kita merasakan menjadi orang terhina, merasakan derita kaum papa yang tidak seberuntung kita, bisa menikmati makan minum bahkan lebih dari tiga kali kalau kita ingin. Intinya, puasa itu wajib, menghormati orang puasa itu paling banter cuma sunah.

Kembali ke contoh kasus nyuruh orang tutup warung selama Ramadhan. Manfaatnya apa buat kaum Muslim? Supaya mereka tidak tergoda? Lha, godaan itu selalu ada kok, mau bulan Ramadhan apa nggak. Justru selama Ramadhan kita diganjar Allah SWT dengan pahala lebih besar apabila bisa menahan godaan, bukan? Kalo tempat hiburan ditutup, apa lantas semua Muslim puasa? Apa Muslim yang belum kuat imannya nggak bisa cari tempat hiburan lain, yang mungkin malah lebih haram karena sekarang tempat-tempat yang resmi disuruh tiarap? Saya malah kepikiran mudaratnya: banyak pekerja di tempat semacam itu – terlepas halal/haramnya ya – yang kehilangan penghasilan selama satu bulan. Apa selama sebulan itu anak-anak mereka diminta dengan hormat ikutan puasa demi “menghormati orang puasa”? Ambil contoh lain kasus saya sekarang, yang sedang berpuasa di negeri “orang kafir” – untuk meminjam istilah mereka yang di wilayah garis keras. Apa saya bisa – dan punya hak – untuk nyuruh orang kafir sekitar 270 juta untuk nggak puasa demi saya?

Alasan kedua saya adalah this clearly sends the wrong signal to non-Moslems. Kira-kira, sinyal yang sampai ke benak mereka kurang lebih adalah, “Oh, orang Islam itu ibadah cuma kalau puasa. Kalo puasa, mesjid penuh, tempat hiburan ditutup, semua wanita pake jilbab. Sesudah 1 atau 2 Syawal, ya kembali seperti biasa.” Ini belum lagi kalau mereka denger tindak tanduk kaum norak berjubah putih anarkis yang suka ngerusak itu, lagi-lagi justru di bulan puasa yang seharusnya umat Muslim diminta untuk menahan nafsu.

Jadi, menurut saya tinggalkanlah tabiat “tomat” ini. Munafik itu buat saya termasuk bohong, dan bohong juga mengurangi pahala puasa, kan?

8 Responses to “Mengapa Saya Tidak Suka Tabiat “Tomat” di Bulan Puasa”

  1. sabar mas, puasa itu melatih kesabaran, kalo ngomel2 nanti bisa ngurangi pahala puasa juga ;)

  2. Nggak ada jempol buat di-klik nih

  3. ahahaha.. like this. sayang telat bacanya.
    tapi emang aneh sih, kenapa harus ada semacam slogan ‘hormatilah orang berpuasa’. lah kalo orang puasa ga ada godaan, berarti ga siap buat ‘naik kelas’.

  4. Awalnya si nemu blog ini pas baca2 revies buku TPA..eh,liat2 tulisan2 yg lain ternyata seru juga..

    Bahasanya nggak dibuat2..hohoho..

    Ada buku Jangan Jadi Bebek..Nah yg ini kayaknya Jangan Jadi Tomat..thanks anyway


Leave a reply to gardine Cancel reply